cropped-57953_153048361504084_1503305655_n.jpgOleh : Agustinus, S.S.

Kebijakan libur sekolah yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kota Pontianak menyikapi persoalan kabut asap yang sekarang ini sudah masuk dalam kategori berbahaya sudah tepat. Berdasarkan informasi partikulat Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, kualitas udara paling buruk pada hari Selasa (15/9) terjadi antara pukul 07.00 – 09.00. Padahal kualitas udara yang baik adalah 0 – 50 u gram per meter kubik, tetapi jika sudah mencapai 300 – 500 PM sudah termasuk kategori berbahaya. Menurut penjelasan dari Kepala Dinas Kesehatan Kota Pontianak, Sidiq Handanu sendiri kasus penyakit ISPA mengalami peningkatan dari 1.200 kasus meningkat menjadi 1.700 kasus pada minggu ke 36. (Pontianak Post, 16 September 2015)

Data dari KR menyebutkan, bahwa kebakaran hutan dan lahan hampir setiap tahun terjadi di Indonesia terutama di wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Tahun 1997-1998, kebakaran hutan dan lahan menjadi bencana nasional. Diperkirakan Indonesia mengalami kerugian US$10 miliar karena kerusakan sekitar 10 juta hektar lahan. Setelah 1997-1998, kebakaran hutan masih terjadi hingga November 2006, dan kerugian demi kerugian terus diperoleh.

Faktanya hari ini, negara atau pemerintah telah sengaja melakukan kejahatan HAM dengan tetap membiarkan dan sangat lamban menanggulangi kebakaran hutan sehingga ribuan warga negara terlanggar hak atas lingkungan hidupnya. Bukankah Indonesia sudah memiliki PP No 4/2001 tentang Larangan Pembakaran Hutan dan Lahan, UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan tata Kelola hutan Alam Primer dan Gambut, juga UU No. 41/1999 tentang Kehutanan yang bisa mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan.

Masalah kabut asap seolah menegaskan bahwa negeri ini tak becus mengelola sumber daya alam dan lingkungan. Buktinya, kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan dan Sumatera yang tiap tahun terjadi sehingga menebar teror asap beracun. Lalu, apa yang harus dilakukan untuk mengatasi bencana asap dan kebakaran hutan yang menyebabkan kerugian lingkungan hidup, material, dan kesehatan?

Pertama, penegakan hukum yang tegas terhadap pembakar hutan dan lahan. Terutama bagi perusahaan Sawit yang memang dalang dibalik pembakaran lahan dan hutan ini. Paling penting, jangan ada lagi izin-izin diberikan oleh pemerintah daerah untuk pembukaan lahan sawit di hutan-hutan masyarakat adat. Apalagi, Indonesia sudah meratifikasi Persetujuan ASEAN tentang

Pencemaran Asap Lintas Batas (ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution/AATHP). Oleh karena itu, kepada aparat penegak hukum supaya segara menangkap pelaku-pelaku pembakaran hutan serta lahan baik yang dilakukan perseorangan maupun korporasi yang bertanggung jawab atas wilayah konsesinya serta memberikan hukuman yang keras sehingga menimbulkan efek jera. Penegakan hukum yang keras dan tegas adalah kunci keberhasilan dalam menghentikan pembakaran hutan dan lahan.

Kedua, perlu adanya satu garis komando dan sinergitas di antara Kementerian Lingkungan Hidup, Pertanian, Kehutanan, sampai pada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pemadam kebakaran, dan organisasi terkait lainnya. Selama ini, pemadaman kebakaran hutan ditangani secara interdep.

Ketiga, segera mencabut izin operasional perusahaan sawit yang terbukti melanggar dan diduga berperan dalam pembakaran hutan di Indonesia.  Keempat, memberikan penyuluhan kepada masyarakat akan pentingnya memelihara kelestarian dan eksistensi hutan, baik manfaat ekonomi maupun konservasi. Pembukaan lahan atau penyiapan lahan pertanian dengan cara membakar lahan harus dilakukan dengan teknis yang benar sehingga dapat dijaga, diatur, dan dikelola secara efektif supaya tidak merusak ekosistem. Kelima, membuka wawasan kita untuk terus memekanisasi dunia pertanian dan perkebunan. Temuan-temuan mutakhir berupa teknologi alternatif bisa digunakan untuk memerangi masalah kabut asap dan kebakaran hutan serta lahan. Kita ingin melihat hutan yang hijau merona, langit bersih bebas asap, dan udara segar tanpa polusi.

Akhir kata penulis, walaupun kebakaran hutan terus menjadi tantangan yang masih berlangsung saat ini, perhatian publik yang terus meningkat dapat membantu pemerintah dan pemangku kepentingan lain untuk mengalihkan fokus pada solusi permasalahan ini baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Membakar hutan adalah perbuatan ilegal berdasarkan hukum Indonesia, namun hal ini tidak dijalankan dengan cukup ketat di lapangan. Pejabat di pemerintahan Indonesia, perusahaan dan komunitas dapat memanfaatkan momentum dari peristiwa ini sebagai peluang untuk bekerjasama di tingkat nasional, regional dan lokal menembus batas-batas wilayah untuk bekerja mencegah kebakaran di masa depan. Sementara angka peringatan titik api saat ini terus menanjak, perlunya aksi nyata sudah sangat mendesak dilakukan untuk memastikan pola kehancuran seperti yang terjadi saat ini dapat dihentikan, tentunya juga untuk kebaikan masyarakat Indonesia dan Kalimantan.***

(Guru SMP & SMA St. Fransiskus  Asisi Pontianak, Kalimantan Barat)