Mengapa Nilai Unas Bahasa Indonesia Rendah?
Oleh : Agustinus Sungkalang, S.Sas.
Berdasarkan analisis sederhana soal UN Bahasa Indonesia dalam diskusi bertajuk ”Evaluasi Soal Ujian Nasional Bahasa Indonesia Tingkat SMA/Sederajat 2009/2010” di kantor harian Kompas di Jakarta ditemukan banyak soal dengan pilihan jawaban yang ambigu dan bias. Persoalan itu terlihat, baik dalam pokok soal maupun pada pilihan-pilihan jawaban. Demikian juga dengan soal yang dibedakan dalam paket A dan paket B dengan materi soal yang berbeda mesti diuji betul apakah bobotnya sama. Pemerhati dan peneliti bidang pendidikan Erlin Driana mengatakan, pemerintah, dalam hal ini Balitbang Kemendiknas RI, menyatakan bahwa soal-soal Bahasa Indonesia tersebut sudah dikalibrasi dan diuji berulang-ulang. Kenyataannya, kata Erlin, banyak hal-hal yang semestinya tidak lolos, malah lolos (Kompas, 16/5/2010).
Nah, apa yang menjadi masalah di atas? Ternyata setelah soal Bahasa Indonesia tersebut dikaji dan diteliti banyak sekali yang multitafsir, sedangkan para guru juga punya penafsiran dan jawaban berbeda untuk satu soal yang sama. Ironisnya, mereka tak tahu kunci jawaban yang benar sehingga tidak tahu bagaimana memperbaiki soal itu ke depan. Menurut Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengatakan, ada sebanyak 73 persen siswa tingkat SMA/SMK/MA tidak lulus mata pelajaran Bahasa Indonesia. Hal itu dinilai akibat sikap siswa yang menyepelekan mata pelajaran tersebut serta terdapat metode pembelajaran yang salah.
Rendahnya aktivitas membaca, menjadi penyebab utama lemahnya siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Ya, ini memang benar! Ketika penulis melakukan analisa terhadap beberapa soal unas mata pelajaran Bahasa Indonesia, hampir semua soalnya didahului dengan teks bacaan, apa pun materi pertanyaannya; baik menunjukkan opini, fakta, ide pokok, kata baku/tidak baku, maupun menyimpulkan suatu ungkapan. Menurut pengakuan sebagian siswa, begitu mereka melihat teks yang panjang sudah muncul dalam pikirannya untuk tidak mau berlama-lama untuk membacanya. Kekurangsenangan itu tentu menjadikan mereka kurang konsentrasi. Mereka juga kurang terampil membaca sehingga agak sulit menentukan mana ide pokok mana ide penjelas.
Kelemahan siswa tentu berkaitan dengan kreativitas pembelajaran yang belum maksimal, bahkan agak jauh dari pembelajaran bahasa yang ideal. Jika latar belakang dan wawasan guru belum memadai sebagai seorang guru bahasa Indonesia, hasilnya akan makin jauh dari harapan. Jika hanya mengandalkan guru, hampir pasti siswa akan gagal belajar bahasa Indonesia.
Dalam mata pelajaran bahasa Indonesia terdapat materi sastra. Teks sastra mempunyai ciri khas dalam penafsirannya, yaitu multitafsir. Sangat dimungkinkan sesama pembaca teks sastra yang sama mempunyai pendapat yang berbeda. Maka muncul permasalahan, jika banyak soal materi sastra multitafsir dalam UN. Kalau siswa punya pendapat lain tentu wajar. Sayang, perbedaan pendapat itu tidak diakui kunci jawaban. Kebetulan tahun ini, penulis menelaah soal materi sastra . Simpulan penulis, cukup memberi alasan mengapa nilai bahasa Indonesia dalam UN belum maksimal, bahkan turun drastis dalam UN 2010 ini. Siswa sangat dirugikan akibat soal sastra yang multitafsir. Memang, masalah multitafsir dalam dunia sastra menjadi hal biasa. Ahli sastra Teeuw dan sastrawan Taufiq Ismail tidak mempermasalahkan jika pembaca karya sastra memiliki pendapat yang berbeda. Perbedaan pendapat siswa dalam menjawab soal materi sastra sangat lumrah. Sedangkan dalam UN, multitafsir itu tidak akan terjadi. Yang terjadi adalah pemaksaan pendapat si penulis soal terhadap satu jawaban yang benar. Sebagai seorang guru mata pelajaran bahasa Indonesia, penulis sangat memahami mengapa nilai bahasa Indonesia menjadi penyebab paling banyak ketidaklulusan peserta tahun ini. Selain soal sastra banyak multitafsir, teks yang dikutip cukup panjang. Siswa yang jarang melakukan aktivitas membaca akan merasa kelelahan memahami isi teks.
Secara umum, sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia adalah yang berorientasi pada nilai. Prestasi akademis yang berupa nilai tinggi merupakan tolak ukur kecerdasan seorang murid, padahal untuk mendapatkan nilai yang tinggi, peserta didik harus banyak menghafal, sedangkan pengetahuan kontemporer, keterampilan, dan penerapan ilmu pengetahuan di dunia nyata tidak menjadi bahan pertimbangan dalam penilaian. Sekolah telah menjadi tempat untuk mentransfer dead knowledge. Ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah terlalu bersifat textbookish karena akar sumber pengetahuan dan aplikasi pengetahuan sudah dipisahkan, sehingga antar teori dan praktek menjadi tidak sinkron dan sulit diaplikasikan di dunia nyata.
Ada beberapa hal yang perlu dievaluasi terkait dengan rendahnya nilai Bahasa Indonesia. Pertama, soal-soal ujian nasional perlu dievaluasi secara menyeluruh. Hal ini disebabkan oleh banyaknya siswa yang gagal mendapat nilai minimal untuk pelajaran yang sama. Harus dicari penyebab siswa mendapatkan nilai yang rendah. Soal yang baik adalah soal yang benar-benar menguji kemampuan siswa, bukan sekedar mengecoh mereka. Kedua, pengajaran Bahasa Indonesia seharusnya mengacu pada prinsip knowing (mengetahui) dan doing (mengalami). Pengajaran bahasa yang ada sekarang ini baru mengacu pada prinsip knowing, saja. Guru merasa cukup memberitahu tentang kaidah-kaidah Bahasa Indonesia, tanpa memberi contoh dan mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Akan menjadi sangat sulit bagi para siswa untuk menghafal teori tanpa pernah mengamalkannya. Para siswa harus dibiasakan untuk memakai bahasa yang baik dan benar serta komunikatif, terlebih lagi dengan semakinh kuatnya pengaruh bahasa asing terutama bahasa Inggris dan bahasa gaul. Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan komunikatif harus dimulai dari lingkungan pendidikan, karena merekalah yang paling mungkin diajarkan dan kemudian menyebarkannya ke masyarakat luas.
Pola pikir para siswa tentang Bahasa Indonesia juga harus diluruskan. Banyak siswa yang meremehkan Bahasa Indonesia, dengan dalih bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa sehari-hari; mereka menguasai bahasa tulis dan lisan dengan baik. Paradigma tersebut tidaklah benar, karena pada kenyataannya para siswa hanya mahir menguasai pengetahuan dengan bahasa pengantar Bahasa Indonesia, akan tetapi kemampuan mereka untuk berbahasa Indonesia yang baik, benar, dan komunikatif masih dipertanyakan.
Pola pikir dan pola ajar para guru tentang bahasa Indonesia juga perlu dievaluasi, baik guru bahasa Indonesia ataupun yang mengajar non-bahasa Indonesia. Kebiasaan menggunakan bahasa yang cenderung gaul atau yang terlalu kaku dalam proses pembelajaran telah perlahan-lahan ikut menghanyutkan Bahasa Indonesia itu sendiri. Kemampuan Bahasa Indonesia, terutama sastra, sebenarnya juga tidak etis jika diujikan secara tertulis, teruatama multiple choice. Karena pelajaran sastra adalah tenang penguasaan dan keterampilan, sehingga sangat tidak etis jika penilaiannya hanya diserahkan pada lembaran-lembaran kertas yang kaku dan berlawanan dengan karakter sastra sebagai buah pemikiran manusia itu sendiri. Kurangnya dinamisasi dan inovasi di pengajaran bahasa Indonesia mempengaruhi minat para siswa secara psikologis untuk belajar serius dan mendalam.
Maka sistem evaluasi pun sudah sangat perlu untuk direvisi, karena standar nilai minimal ternyata tidak banyak membantu perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia, terlebih dengan adanya standar nilai minimal yang semakin naik dari tahun ke tahun. Memang menetapkan suatu angka sebagai standar minimal untuk kelulusan bukanlah sesuatu yang buruk, akan tetapi yang paling buruk apabila proses pendidikan sudah ditujukan untuk menghadapi ujian semata, bukan lagi untuk menghadapi kehidupan nyata (learning for the test, not learning for the living). Sekolah adalah tempat untuk membangun generasi muda yang berpikiran maju ke depan demi masa depan bangsa indonesia yang lebih baik. Jangan sampai sekolah justru menjadi penjara intelektual yang malah mematikan potensi para siswa! (Staff Pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia SMP & SMA St.Fransiskus Asisi Pontianak, Alumnus Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Jurusan Sastra Indonesia, spesialisasi ilmu bahasa terapan dan jurnalistik)