DSC03413

Oleh: Agustinus S.S.

 

Membicarakan masalah pendidikan, kadang-kadang kita dihadapkan pada mata rantai persoalan yang tidak jelas ujung pangkalnya dan dari mana kita harus memulainya. Guru merupakan pihak yang paling sering dituding sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan. Asumsi demikan tentunya tidak semua benar, mengingat teramat banyak komponen mikrosistem pendidikan yang ikut menentukan kualitas pendidikan.
Namun begitu, guru memang merupakan salah satu komponen mikrosistem pendidikan yang sangat strategis dan banyak mengambil peran di dalam proses pendidikan secara luas, khususnya dalam pendidikan persekolahan. Oleh karena itu, kita memang banyak menaruh harapan kepada guru dalam upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Jika harapan tersebut sulit dipenuhi maka setidaknya guru yang menangani langsung masalah pendidikan

adalah guru-guru yang memiliki kualitas yang cukup memadai.

Di dalam buku Effective Schools and Effective Teacher, Gary A. Davis dan Margaret A. Thomas (1989) mengemukakan tentang beberapa ciri guru yang efektif sebagai berikut, pertama, guru harus memiliki kemampuan yang terkait dengan iklim kelas. Kedua, guru memiliki kemampuan yang terkait dengan konsep strategi manajemen. Ketiga, guru memiliki kemampuan terkait dengan pemberian umpan balik dan penguatan (reinforcement). Keempat, guru memiliki kemampuan yang terkait dengan peningkatan diri.

Tetapi pada faktanya, dalam riset lain, guru-guru di Indonesia masih memiliki penyakit mental. Para guru memiliki penyakit asal masuk kelas (asma), asal sampaikan materi urutan kurang akurat (asam urat), di kelas anak-anak remehkan (diare), gaji nihil jarang aktif dan terlambat (ginjal), kurang disiplin (kudis), kurang strategi (kusta), kurang trampil (kram), lemah sumber (lesu), mutu amat lemah (mual), tidak punya selera (tipus), tidak bisa komputer (TBC), dan sebagainya.(Dion Eprijum Ginanto, 2011 : 19)

Pendidikan kita belum bisa menjadi seperti apa yang disebutkan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) tahun 1996: moulding the character and mind of young generation/mencetak karakter dan pikiran generasi muda. Ada persoalan etos kerja yang serius dalam jati diri bangsa ini. Etos yang berasal dari bahasa Yunani; akar katanya adalah ethikos yang berarti moral atau menunjukkan karakter moral.

Etos juga berarti keberadaan diri, jiwa, dan pikiran yang membentuk seseorang. Webster’s New Word Dictionary, 3rd College Edition, etos didefinisikan sebagai kecenderungan atau karakter; sikap, kebiasaan, keyakinan yang berbeda dari individu atau kelompok. Bahkan dapat dikatakan bahwa etos pada dasarnya adalah tentang etika.

Jansen Sinamo, dalam bukunya 8 Etos Keguruan, merumuskan bahwa etos kerja diartikan sebagai semangat, pola pikir, dan mentalitas yang mewujud sebagai seperangkat perilaku kerja yang khas dan berkualitas. Etos kerja juga berhubungan dengan nilai-nilai etika seperti tekun, ulet, pekerja keras, rajin tak suka mengeluh, memiliki dsiplin tinggi, mampu menahan diri dan nilai-nilai positif lainnya. Maka etos kerja adalah respons seseorang, kelompok, atau masyarakat terhadap kehidupan sesuai keyakinannya. Dengan kata lain, etika kerja merupakan produk dari sistem kepercayaan yang diterima seseorang atau kelompok atau masyarakat. Maka etos kerja yang tinggi akan menghasilkan semangat dan produktivitas yang tinggi pula.

Selanjutnya keberhasilan seorang siswa dalam belajar dipengaruhi oleh motivasi/dorongan untuk belajar yang kuat. Motivasi adalah suatu keadaan yang kompleks dan kesiapsediaan dalam diri individu untuk bergerak ke arah tujuan tertentu, baik disadari atau tidak disadari. Motivasi ini juga tidak tumbuh sendiri. Tapi dia juga bisa dirangsang untuk tumbuh, yang dalam bukunya Sukmadinata (2004) menyebutkan beberapa rangsangan untuk meningkatkan motivasi belajar peserta didik. Pertama, mendudukkan dengan persis tujuan sebuah pembelajaran. Masalah yang sering timbul adalah, para peserta didik tidak benar-benar memahami apa tujuan mereka belajar. Kedua, menghindari kebosanan dalam belajar. Caranya dengan menyesuaikan materi pembelajaran yang dibutuhkan oleh peserta didik. Perlu kecakapan dari seorang pendidik untuk melihat dan mengetahui kebutuhan pembelajaran para peserta didiknya. Ketiga, membuka peluang sebesar-besarnya bagi murid untuk mencapai sukses. Berilah mereka persoalan yang bisa diselesaikan dengan baik, carilah cara agar mereka bisa menyempurnakan tugas yang diberikan kepada mereka. Karena ini akan meningkatkan motivasi belajar peserta didik. Keempat, berilah penghargaan atas setiap prestasi yang dicapainya, sekecil apapun prestasi itu. Karena penghargaan seperti ini akan membangkitkan potensi yang mengendap di dalam diri seorang peserta didik

Evaluasi kegiatan belajar

Dari jurnal penelitian yang penulis baca, bahwa riset Benjamin Bloom menyebutkan bahwa tingkah laku belajar peserta didik dipengaruhi perkiraan peserta didik tentang apa yang akan diujikan. Maka kalau yang akan diujikan adalah penguasaan pengetahuan yang telah dihafal, dengan sendirinya peserta didik hanya akan belajar materi yang akan diujikan.

Ini mengakibatkan peserta didik akan mengabaikan berbagai kegiatan belajar yang tidak akan diujikan, seperti belajar meneliti, menulis makalah, belajar mengapresiasi karya sastra, belajar berdemokrasi, dan berbagai proses belajar yang bermakna transformasi budaya. Maka evaluasi secara nasional bidang pendidikan kita seperti dikatakan Parson yaitu classroom as social sistem/ruang belajar sebagai sistem sosial. Selain itu sekolah sebagai pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, dan sikap (Inkeles). Ini adalah bagian dari teori belajar sosial (social learning theory) yang dapat menumbuhkan sikap dan kemampuan yang pada akhirnya menumbuhkan etos kerja tinggi. Hal seperti ini tentu akan amat sulit dicapai dalam model belajar tradisional yang dilakukan pada akhir satuan jenjang atau kelas seperti “ulangan umum” pada akhir semester, dan berakhir pada Ujian Nasional.

Oleh karenanya, jika evaluasi model ujian bagi peserta didik, khususnya ujian nasional yang umumnya menanyakan dimensi kognitif mata pelajaran akan membuat peserta didik hanya merasa perlu mengingat. Mereka tidak akan merasa perlu melakukan percobaan, menguji coba pengetahuan akan suatu ketrampilan yang diajarkan, tidak perlu latihan menulis. Selanjutnya, proses peningkatan jenjang pendidikan seperti dari SD ke SMP atau dari SMP ke SMA dan seterusnya dari SMA ke Perguruan Tinggi hanya akan menjadi nilai ujiannya sebagai referensi. Kalau ada yang membuat ujian saringan masuk, maka wujudnya lebih kurang sama dengan ujian yang para peserta didik alami sebelumnya, malah yang lebih parah adalah ujian sebagai langkah seremornial semata.

Coba kita membandingkan dengan evaluasi pendidikan di Jerman. Di sana peserta didik yang akan naik ke level gymnasium (SMA) maka mereka sudah disaring sejak duduk di kelas lima. Di Amerika Serikat juga begitu, sejak kelas 9 telah diversifikasi kurikulum, yaitu kurikulum untuk calon mahasiswa (Preparatory College) yang merupakan evaluasi pendidikan yang berbeda bagi mereka yang tidak memenuhi syarat menjadi calon mahasiswa. Di Singapura juga seperti itu, di mana untuk masuk SMA (Junior College) peserta didik sudah disaring sejak kelas 5 SD.

Secara sederhana, sistem pendidikan menuju etos kerja yang tinggi adalah sistem pendidikan menjadi suatu rangkaian yang tak terputus dari masing-masing bagiannya. Poin-nya adalah pada kesinambungan pendidikan. Pendidikan dilihat sebagai sebuah sistem yang utuh, saling kait mengait antara satu sama lainnya. Tujuannya adalah membentuk (output) para peserta didik yang memiliki etos kerja yang tinggi. Rangkaian yang utuh itu harus terlihat jelas dari setiap level pendidikan, dari SD ke SMP, dari SMP ke SMA dan dari SMA ke perguruan tinggi. Selanjutnya struktur dan materi yang diajarkan kepada peserta didik memungkinkan mereka mengembangkan potensinya secara optimal sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.

Pendidikan juga mesti menjadi suatu model pembelajaran yang merangsang dan menyenangkan. Karena ini adalah sarana yang stabil untuk mengembangkan potensi diri para peserta didik. Setelah itu, penerapan sistem evaluasi yang relevan yaitu sistem evaluasi yang komprehensif, terus menerus, dan obyektif yang didukung sumber daya pendidikan yang kaya. ***

(Guru SMP & SMA St. Fransiskus  Asisi Pontianak, Kalimantan Barat)