Penulis : Agustinus, S.S.

Guru SMP dan SMA St. Fransiskus Asisi Pontianak

DSC_0071

Habis Gelap Terbitlah Terang

Pagi itu, hari Selasa tanggal 21 April seorang wanita tua menarik gerobak sampah melintasi kantor kota walikota. Jalannya agak terpincang-pincang, entah karena kakinya sakit atau karena keberatan menarik gerobaknya. Sandal jepit yang mengalasi kakinya, seperti baju kaos dan roknya yang terlihat lusuh, sudah tak jelas warna aslinya. Entah karena terlalu lama usianya, atau karena terlalu banyak debu yang bersarang di sana. Karena mungkin berat, jalannya juga tertatih-tatih, menunjukkan betapa kerasnya hidup ini. Pengendara di belakangnya memperlambat laju motornya, memberi kesempatan kendaraan dari lawan arah. Beberapa pegawai kota yang memburu waktu, mengantar istrinya berkebaya lengkap motif  Kalimantan hendak upacara di kantor wali kota, mungkin bergumam: bikin macet jak, kote nih!

Karena hari ini bertepatan dengan hari peringatan tentang perjuangan kaum wanita Indonesia, tadi malam Si Yeni, cucunya, iseng-iseng bertanya kepada nenek tua itu.

“Tanggal 21 April itu hari ape ya Nek?”

Nenek hanya duduk terdiam, mengingat kembali masa-masa silam ketika ia tidak tamat SD. Hanya baju putih dan rok warna merah yang kembali muncul dalam sanubari ingatannya. Tiba-tiba…..

“Ya, hari Minggu atau hmmmm hari Selasa!” jawab Nenek Susi dangkal, tanpa mengena pada esensi pertanyaan cucunya. Yeni pun tak melanjutkan pertanyaannya. Ia tahu benar, tak ada jawaban yang lebih benar dari pada jawaban nenek tuanya itu.

Ya, ia benar. Memang tanggal 21 April tahun ini jatuh pada hari Selasa tahun ini 2015. Ia tidak salah sebab ia tidak lagi ingat akan pelajaran sejarah di sekolah dulu. Atau, ia memang tidak mengenal apa itu Hari Kartini, karena ia mungkin saja tidak pernah sekolah. Yang ia ingat hanyalah tugasnya setiap hari, menarik gerobak sampah. Dari ujung jalan, Bandara Supadio berhenti di depan setiap rumah, mengangkat tong sampah dari ban bekas lalu memuntahkan sampah bau itu ke perut gerobaknya. Begitulah seterusnya, dan mengakhiri jalannya di Jeruju (Tempat Pembuangan Sampah)

Memang benar bahwa Nenek Susi pernah mendengar ketika cucunya menghafal pelajaran Sejarah. Si Yeni, cucunya itu, mempunyai kebiasaan menghafal sambil membaca keras-keras kalimat yang dihafalnya. Supaya tidak mudah terlupa. Oleh karena itu, masih belum tergerus dari ingatannya ketika si Yeni membaca keras-keras: Buku karangan R.A. Kartini berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang.” Kebetulan Yeni senang pelajaran sejarah di sekolahnya, di mana ia merupakan salah satu ketua osis sekolah swasta terkenal di kota Pontianak

Tentu saja Nenek Susi tak pernah tahu persis apa maksudnya itu, selain sekadar meraba-raba artinya. Nenek peyot itu berusaha mencari maknanya, sambil memandangi gerobak sampahnya yang sudah usang. Menerjemahkan ala orang bodoh dan miskin. Adakah itu artinya, sehabis malam membungkus bumi lantas terbentanglah siang di hamparannya? Tiba-tiba Nenek teringat dengan masa Pemerintahan Soeharto, yang di zaman itu sering terjadi demonstrasi mahasiswa, penjarahan di mana-mana, rakyat sangat menderita. Ketika Soeharto Lengser, terbitlah Habibie. Lamunan Nenek kembali. Kalau itu artinya, pikir Nenek bukankah itu hanyalah sebuah kebenaran umum yang cukup diterima saja? Kehendak Tuhan yang diawali ketika Ia menciptakan dunia dan mungkin akan diakhiri saat Ia mengirimkan kiamat di bumi ini?

Menurut Nenek Susi, dengan pikiran sederhananya, bahwa gelap diartikannya sebagai nasib rakyat kecil yang hidupnya tak seterang orang kaya. Lalu, terang dimaknainya sebagai rasa bahagia karena kemiskinan itu justru membuatnya tenang. Samar-samar pernah terlihat di televisi orang kaya seusianya yang bajunya bertuliskan ‘TAHANAN KPK’. Bagi Nenek Susi kemiskinannya tidak pernah membuatnya menjadi pesakitan seperti orang kaya yang di TV itu. Bisa saja orang miskin hidupnya terang, dan bisa saja yang kaya hidupnya gelap.

Meski berat, gerobak Nenek Susi sampai juga ke TPA Jeruju. Tempat Pembuangan Akhir, pembuangan sampah. Pengalamannya selama ini yang lebih dari tujuh belas tahun menjadikannya hafal betul bahwa sampah pun mempunyai kasta (golongan). Kasta brahmana dan kasta Sudra, kasta kaya dan kasta melarat.
Sampah dari rumah tingkat yang di bagian sampingnya ada kandang mercy, pajero, alphard, Innova atau setidaknya, kijang dan macan hitma, biasanya berupa kotak-kotak bungkus pizza, KFC, atau dunkin donat. Roti yang bentuknya budar seperti roda berselaput gula. Apalagi sampah dari hotel berbintang yang menjulang tinggi, setiap hari melahirkan sampah organik dan sampah anorganik yang mewah. Entah bagaimana rasanya ia tak pernah tahu. Lidahnya tak pernah bercerita tentang itu. Gambar-gambar itu saja yang bercerita kepadanya. Sedang sampah dari rumah-rumah kecil, biasanya hanya berupa sisa batang kangkung, kacang panjang, atau kulit terong yang dibungkus tas kresek.

Hebatnya, Nenek Susi tak pernah iri dengan semua itu. Apalagi sampai bertanya-tanya kepada Tuhan mengapa ada orang kaya dan orang miskin. Seperti lagunya Chrisye. Ia tak pernah protes ketika ia bingung hari ini mau makan apa, sementara makluk-makluk itu kebingungan mau makan di mana. Baginya, sampah-sampah karton dan kardus itu kadang bisa menghapus kebingungan itu, manakala ia sudah membawanya ke Pak Solihin, pengepul barang loak itu di Pasar Tengah dan menukarnya dengan sejumlah uang.

Nenek Susi, menambatkan gerobak tuanya di samping rumah sangat sederhana yang di sewa dari Pak RT. Rumah itu hanya beratapkan seng dan kardus dan terletak di bawah jembatan tol landak. Becak yang warnanya merah kusam bergambar salah satu calon anggota DPRD sudah ada di halaman, di bawah pohon. Pertanda Ka’mo Ujang, suaminya, yang semalaman mencoba mengais dinginnya malam untuk uang lima belas ribu sudah pulang. Begitulah, Ka’mo Ujang lebih sering pulang pagi. Bila malam, ia melingkarkan tubuhnya di jok becaknya dan membalut dengan sarung di dekat perempatan lampu merah Tanjung Pura, depan Pasar Tengah. Itu setelah lelah dan rasa kantuk mengalahkannya.

“Mak, sebaiknya hari ini Emak ndak usah memulung bah,” kata Ka’mo Ujang menyambut istrinya.

“Memangnye kenapa pak?”

“Ya, sekali-kali istirahat bah. Sehari dalam seminggu. Paling tidak hari Minggu kita pergi ke rumah Tuhan untuk berdoa dan mengucapkan syukur kepada Jubata.” Kayak mereka para pegawai itu.”

“Mereka kan ndak kerja sebulan juga di bayar bah Pak. Kalau kita, ndak kerja sehari berarti ndak makan.”

Ka’mo Ujang hanya manggut-manggut sambil menghabiskan sarapan paginya. Nasi putih, tempoyak, dan sambal ikan asin. Benar juga, pikirnya.

“Kalau gitu, mak pergi ke kantor walikota aja. Pasti di sana banyak kotak bekas kue dan botol atau gelas aqua.”

“Loh, di sana ada ape, pak?”

“Ada upacara bah mak.”

“Upacara ape?”

“Mana jak aku tahu mak, Bapak kan cuman nengok banyak para pegawai kota itu kumpul di sana!”

“Aok lah, nanti aku kesana.”

Masih tetap mengenakan pakaian kerja seperti saat ia menarik gerobak sampahnya, Nenek Susi menuju ke kantor walikota. Meski masih tetap berurusan dengan sampah, kali ini Nenek Susi tidak menarik gerobak. Karung plastik besar yang dibawanya. Terjinjing di punggungnya.

Di halaman kantor walikota, upacara itu dilakukan. Ibu-ibu, pegawai kantor walikota itu, memakai kebaya lengkap motif kalimantan serta pakaian tradisional batik Kalimantan Barat. Pak walikota dan wakil serta istri memakai baju adat Melayu. Lalu, dinyanyikanlah lagu ‘Ibu Kita Kartini”. Nenek Susi, tiba-iba ingat tadi malam ketika si Yeni menyanyikan lagu itu. Sebelum ia menanyainya tentang tanggal 21 April itu. Pertanyaan yang aneh!

Upacara telah selesai. Pesta di kantor wali kota pun usai. Mobil-mobil mewah kembali mengangkut para istri pegawai itu kembali ke rumahnya. Tidak seperti hari-hari biasanya, hari ini bapak-bapak pegawai itu seakan menjadi budak di kaki wanita. Dan, wanita seperti menjadi ratu sehari. Ibu-ibu itu sejak subuh telah pergi ke salon kecantikan. Layaknya, mau mengikuti acara wisuda anaknya. Hari kartini, ibu-ibu itu harus nampak cantik. Harus nampak bak seorang ratu. Konon, untuk ke salon itu mereka harus bayar mahal. Sama jumlahnya dengan gaji yang ia terima untuk tiga bulan. Gaji sebagai pengangkut sampah itu.

Tiba-tiba, Nenek Susi ingat tentang Hari Kartini seperti yang dinyanyikan Yeni tadi malam. Ya, hari ini 21 April adalah Hari Kartini. Lalu, nenek tersenyum. Tanpa disadarinya, bibirnya bersiul: “Ibu kita Kartini, putri sejati…” Mengingat dan mengucap sepotong-sepotong lagu pendek itu. Sambil terus memunguti kotak kue, gelas dan botol plastik.

Ia akan terus berjuang seperti Kartini sampai akhir hayatnya!

Pontianak, 15 April 2015